Oleh: Rizki Usmul Azan | Juli 2, 2013

Pemimpin Lahir dari Rakyat

Gambar

الحمدلله رب العالمين و الصلاة والسلام على سيدنا محمد و على آله و صحبه و من تابعهم بإحسان إلى يوم الدين

Pemimpin yang hadir itu cerminan dari rakyatnya. Jika rakyatnya baik, maka otomatis pemimpin yang akan muncul adalah yang baik. Jika rakyatnya buruk maka pemimpin yang hadir adalah pemimpin yang zhalim. Sebuah hadits yang artinya:

“Akan datang suatu zaman pada umatku yakni mereka menjauh dari ulama dan fuqaha maka ALLAH akan menimpakan (adzab) bagi mereka tiga hal yaitu: 1) Diangkatnya keberkahan dari harta-harta mereka.. 2) ALLAH lantik bagi mereka pemimpin yang zhalim… 3) Mereka meninggalkan dunia tanpa membawa iman (mati kufur dan suul khatimah)..” (Nashailhul Ibad, Syaikh Nawawi)

Imam Nawawi membagi ulama menjadi dua yaitu : 1) ulama yang mengerti tata hukum agama, itulah yang disebut fuqaha (ahli fiqh), 2) Ulama yang mendalami ilmu ma’rifat itulah yang disebut hukama’ (ahli hikmah). Yang bergaul dengan fuqaha akan mengerti tata hukum syari’ah, sedangkan yang belajar dengan hukama’ akan mengerti kebesaran dan keagungan ALLAH di dalam amal, serta adanya perbaikan ruhani/akhlak. Ruhama’ ini diistilahkan dengan ulama tasawuf.

Di dalam hadits di atas nabi sabdakan; mereka (rakyat) “yafirru” yakni  (berlari menjauh) dari ulama. Sedangkan ulama itu pewaris da’wah dan risalah kenabian yakni agama. Artinya jika manusia sudah tidak mau amalkan agama dengan cara belajar (dengan ulama) maka akibatnya adalah mereka terjebak di dalam kebodohan (jahil) dan hidup menurut pola fikirnya dan hawa nafsu, bukan dengan jalan ilahiyyah (dinul islam). Rasulullah bersabda yang artinya:

“Sesungguhnya ALLAH tidak akan menghilangkan ilmu dengan mencabutnya dari semua manusia, akan tetapi dengan menghilangkan ulama, sehingga ketika tidak ada lagi seorang ‘alim, manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Yang ketika ditanya, mereka akan memberi fatwa tanpa didasari ilmu sehingga fatwa akan sesat dan menyesatkan..” (HR al-Bukhari)

Pemimpin lahir dari keluarga

GambarKomponen terkecil suatu bangsa adalah keluarga. Artinya jika ingin mengembalikan kejayaan islam maka hal yang diperbaiki dahulu adalah keluarga. Jika ingin mendekatkan kepada kepemimpinan yang haq, maka urusi terlebih dahulu keluarga. Di dalam fiqh idealnya satu wilayah harus memiliki seorang ‘alim, hingga minimal satu keluarga harus terhubung dengan satu ulama. Di Dalam hal ini seorang mas’ul (suami) harus memiliki keterikatan dengan ulama agar dia bisa bertanya tentang perkara dunia dan akhirat kepada ulama’.

Apa saya perkara yang dipelajari kepada ulama? Perkara agama yang mendasar yang wajib diketahui seorang muslim ada lima yaitu 1) imaniyah 2) ‘ubudiyah, 3) mu’amalah, 4) mu’asyarah dan 5) akhlak. Jika kelima hal ini diambil dan diserap pemahamannya daripada ulama, maka satu keluarga telah selamat dari adzabnya ALLAH. Di dalam al Quran disebutkan:

يا ايُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَ أَهْلِيكُمْ نَاراً
wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan ahlimu (keluarga) dari api neraka..”
(QS At Tahrim: 6)

فَاسْألُوا أَهْل الذكر إنكنتم لَا تَعلَمُون
Bertanyalah kepada orang yang mengetahui (ulama) jika kalian tidak mengetahui..” (QS Al Anbiya’:7)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajari (agama) kepada keluarganya dari kerabat, budak wanita dan lelaki, tentang semua yang ALLAH wajibkan pada mereka dan yang dilarang..”

Persoalan yang terjadi sekarang adalah terputusnya hubungan antara pemimpin keluarga dengan personal ulama’. Sehingga tidak ada lagi pengamalan agama yang shahih. Jika pun ada maka sangat goyah dengan berbagai macam fitnah dan tergerus oleh rusaknya zaman, sehingga perlahan hilanglah semangat beragama di dalam keluarga. Jika sudah seperti ini, hilanglah izzah dan fungsi seorang ‘imam’ yakni suami di dalam rumah tangganya sendiri.

Lalu apa yang terjadi apabila seorang suami tidak mampu memimpin keluarganya? Yang terjadi adalah para wanita membuka auratnya ketika keluar rumah, para wanita akan mendidik anak-anaknya menjauh dari agama, maka lahirlah generasi baru yang jauh dari akhlak dan ibadah, dan tinggal menunggu waktu terwujudnya masyarakat yang buruk. Dari masyarakat yang buruk ini muncullah orang-orang jahil (bodoh dalam agama) yang kelak menjadi pemimpin bangsa. Apa sebab semua ini terjadi begitu cepat?? Tidak diragukan bahwa penyebabnya adalah jauhnya personal suami dengan ‘alim ulama’.

Keumuman kepemimpinan dalam hakikatnya adalah berlaku utk semua orang. Sabda Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam:

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّت

Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin, wanita juga adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin.” (hadits muttafaq alaih)

Penutup

Jika kita berbicara tentang ideal kepemimpinan, maka artinya setiap keluarga harus segera kembali kepada pengamalan agama yang benar dengan washilah (perantaraan) ‘alim ulama.

Ilmu bukanlah dengan membaca atau menela’ah saja, akan tetapi ilmu adalah niat untuk mendekatkan diri kepada ALLAH dan usaha untuk belajar kepada orang-orang yang memahami hakekat ilmu. Wallahu a’lam.

صلى الله على سيدنا محمد و على آله وسلم


Tinggalkan komentar

Kategori